Pages

Wednesday, August 29, 2018

Dunia Harus Bergerak Adili Myanmar

AS hanya memberi sanksi terbatas kepada militer Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Laporan misi pencari fakta Dewan Hak Asasi Manusia PBB memperkuat bukti kekerasan ekstrem yang menimpa Muslim Rohingya. Misi yang diketuai Marzuki Darusman tersebut menyimpulkan militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap Rohingya. Genosida merupakan kriminal paling berat yang diatur dalam hukum internasional Konvensi Genosida 1948 dan Statuta Roma 1998.

Peristiwa pembantaian terhadap Muslim Rohingya oleh militer Myanmar telah setahun berlalu. Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24 ribu Muslim Rohingya dibantai militer Myanmar. Berdasarkan data Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), jumlah Rohingya yang terbunuh mencapai 23.962 orang. Hal itu terjadi seusai militer Myanmar menggelar operasi di Rakhine untuk memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Meski memburu gerilyawan, kenyataannya tentara Myanmar turut menyerang dan membunuh warga sipil setempat.

Besarnya jumlah korban dan kekerasan ekstrem yang terjadi membuat PBB menggambarkan Rohingya sebagai orang paling teraniaya di dunia. Laporan dari OIDA menyebut 34 ribu Rohingya dibakar, 114 ribu orang dipukuli, dan 17.718 perempuan, dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar. Hal itu ditambah dengan 115 ribu rumah warga Rohingya dibakar dan 113 ribu lainnya dirusak.

Selain laporan misi pencari fakta, badan lain telah membuktikan adanya pelanggaran di Myanmar. Save The Children telah menyatakan Myanmar melanggar konvensi hak-hak anak PBB yang telah disetujui negara itu pada 1991. Pelanggaran itu di antaranya gagal melindungi anak-anak dari kekerasan dan pelecehan. Bahkan, PBB telah memperingatkan potensi hilangnya generasi anak-anak etnis Rohingya akibat akses pendidikan minim dan potensi wabah penyakit.

Kekerasan yang masif tersebut ternyata tak cukup membuat kekuatan dunia internasional bergerak. Tanda-tanda krisis di Rahkine belum berlalu. Meski sudah setahun sejak kekerasan di Rakhine meletus, gelombang pengungsi Rohingya tak juga surut. Dari Januari hingga Juni 2018, tercatat 11 ribu pengungsi baru tiba di Bangladesh. Jumlah itu menambah pengungsi Rohingya di Bangladesh yang telah mencapai 750 ribu jiwa.

Amerika Serikat yang selalu keras terhadap negara lain dengan alasan pelanggaran hukum internasional, hanya memberi sanksi terbatas kepada militer Myanmar. AS memberlakukan sanksi terhadap empat komandan militer dan polisi Myanmar serta dua kesatuan tentara. Hal itu berbeda dengan sikap AS dan sekutunya yang langsung mengambil sikap arogansi terhadap Iran, Turki, atau Suriah atas perbuatan yang dinilainya melanggar hukum internasional. Sanksi ekonomi hingga serangan udara dilancarkan AS untuk negara-negara itu.

Pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Rohingya dengan tujuan Genosida yang telah dibuktikan tim pencari fakta PBB sebenarnya bisa memberi jalan bagi dunia internasional untuk bersikap. Sanksi semestinya tak hanya terbatas untuk militer Myanmar. Hal itu karena pemerintah Myanmar bertanggungjawab atas pengucilan warga Rohingya yang terus menjadi sumbu kekerasan di Rakhine bertahun-tahun. Sanksi bagi Myanmar perlu dipertimbangkan agar segera mengatasi krisis kemanusiaan di Rakhine. Sanksi itu bisa berupa sanksi ekonomi hingga pengucilan di dunia internasional.

Hal yang lebih penting lagi yakni menyeret pelaku genosida atas Muslim Rohingya ke pengadilan internasional. Bukti pelanggaran telah dikantongi, tak ada alasan lagi bagi dunia internasional untuk diam melihat penderitaan warga Rohingya.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Let's block ads! (Why?)

https://republika.co.id/berita/kolom/fokus/18/08/29/pe7rnc318-dunia-harus-bergerak-adili-myanmar

No comments:

Post a Comment